Senin, 12 Oktober 2009

Tawasul yang Tidak Syar'i

TAWASSUL YANG TIDAK SYAR’I

Meminta doa kepada orang mati. Itu tidak boleh. Karena mayat itu tidak dapat berdoa seperti dulu ketika ia masih hidup. Dan tidak boleh meminta syafaat kepada orang mati. Karena Umar ibn Khathab dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dan orang-orang yang menemui zaman keduanya, yaitu para shahabat dan tabi’in yang baik-baik ketika mereka mengalami kekeringan, mereka meminta doa untuk minta hujan, bertawassul dan minta didoakan untuk dilepaskan dari penderitaan kepada orang-orang yang masih hidup seperti Abbas dan Yazid ibn Al-Aswad. Mereka tidak bertawassul, minta syafaat dan minta didoakan agar terlepas dari penderitan kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yang telah wafat, tidak di sisi kuburnya dan tidak di sisi lainnya. Tetapi kepada yang masih hidup seperti Abbas dan Yazid. Dan Umar berkata, “Ya Allah, kami dulu bertawassul dengan Rasul-Mu kepada-Mu, maka turunlah hujan, dan kami sekarang bertawassul dengan paman Rasul-Mu (yang masih hidup) maka hujanilah kami.”

Jadi mereka telah menjadikan ini (tawassul dengan yang masih hidup) menggantikan itu (yang telah wafat) karena terlarang untuk bertawassul dengan yang sudah wafat menurut syariat yang mereka amalkan.

Tawassul dengan jahin Rasul (pangkat Rasul) dan pangkat orang lain yang tetap tidak boleh. Apa yang disebut sebagai hadits, “Apabila anda meminta pada Allah, maka mintalah dengan perantaraan pangkatku (Rasul), karena pangkatku itu di sisi Allah adalah besar.” Ini adalah hadist bohong. Tidak ada sama sekali kitab Muslim yang bersandar padanya dan tak disebutkan oleh seorang ahli ilmu pun dengan hadits itu. Selama tidak ada dalil yang sah dalam hal ini, maka tetap tidak boleh, karena ibadah itu tidak boleh adanya, kecuali dengan dalil yang shahih lagi jelas.

Tawasul dengan dzat makhluk, tetap tidak boleh. (seperti dalam syair,Ya Rabb dengan perantaraan Musthafa / Rasulullah sampaikanlah maksud-maksud kami. Itu tidak boleh. Juga syair yang mereka sebut shalawat Badar, diantaranya ada kalimat, “Tawassalna bi bismillah, wabil haadi Rasulillah. Artinya , kami bertawassul dengan nama Allah dan bertawassul dengan Al-Hadi / Nabi Muhammad Rasulillah. Tawassul seperti itu tidak boleh. Karena lafal ba’ itu kalau untuk sumpah berarti bersumpah dengan makhluk itu atas Allah Ta’ala. Sedangkan kalau sumpah dengan makhluk itu atas makhluk maka tidak boleh juga karena syirik seperti ditetapkan oleh hadits. Lalu bagaimana pula bersumpah dengan makhluk atas kholik Jalla wa Ala ?

Dan kalau ba’ itu untuk sababiyah, maka Allah Ta’ala tidak menjadikan permintaan dengan (perantaraan) makhluk itu sebagai sebab untuk diijabahinya (doa) dan tidak disyariatkan untuk hamba-Nya.

Masalah syair

Kembali kepada soal tawassul yang syar’i dan tak syar’i, di antara tawassul yang tidak syar’i disebutkan, bertawassul dengan dzat makhluk. Itu tidak boleh. Sebab, kalau huruf bill itu berfungsi sebagai sumpah, maka tidak boleh bersumpah dengan menyebut nama makhluk (bil Musthafa). Sedangkan kalau bill itu sebagai sebab. Juga tidak boleh. Karena Allah tidak memerlukan sebab (perantara) dengan makhluk dalam berdoa. Jadi bill di situ, baik berfungsi sebagai sumpah maupun sebab, tetap tidak boleh secara syar’i.

Menjadikan Rasulullah sebagai perantara dalam meminta kepada Allah itu tidak boleh. Adapun ketika Rasulullah masih hidup, kemudian ada shahabat yang minta didoakan kepada Allah, itu boleh. Karena dalam kesanggupan beliau, masih hidup, siapa pun bisa berdoa kepada Allah, untuk dirinya maupun untuk orang lain yang muslim.

Ath-Thabrani meriwayatkan di dalam kitab Isnadnya, bahwa dulu pada zaman Rasulullah ada seorang munafiq (Abdullah ibn Ubay) menyakiti / mengganggu orang-orang mu’min, maka sebagian mereka (Abu Bakar) berkata : Bangkitlah dengan kami, kami akan minta tolong kepada Rasulullah dari (gangguan) munafiq ini Lalu Rasulullah bersabda,

Sesungguhnya aku tidak (boleh) dimintai tolong, dan sesungguhnya hanya Allah lah yang dimintai tolong.”(HR Ath-Thabarani, para periwayatnya shahih selain Ibnu Luhai’ah dan hadits ini hasan)

Secara mudahnya, ibadah itu harus ada dalilnya (ayat Al-Qur’an dan Hadits shahih) atau ada contoh dari Rasulullah dan para shahabatnya. Dalam kasus ini, syair itu tidak sesuai dengan dalil, seperti uraian tersebut di atas dan tidak pernah ada contoh dari Rasulullah. Ibadah harus ada dalilnya dan contoh dari Rasulullah. Sedangkan syair… itu menyangkut aqidah, maka dalil untuk membolehkannya harus jelas, yang ada justru isi dan bentuk syair itu bertentangan dengan dalil aqidah yang benar.

Mana hadits yang membolehkan atau membenarkan syair itu ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Bukan mana hadits yang melarang !!!

Masalah Ulama tahu atau tidak, yang jelas, agama itu landasannya adalah dalil (Al-Qur’an dan Al-Hadits yang shahih) dengan pemahaman yang sesuai dengan penjelasan Rasulullah. Disinilah pentingnya mempelajari agama, agar tidak hanya mengikuti apa kata orang, walau dia disebut Ulama.

Tawassul dengan hak makhluk pun tidak boleh, karena ada dua alasan :

1. Tidak ada hak manusia yang mewajibkan Allah. Hanya Allah lah yang memberikan keutamaan pada atas makhluknya.

2. Hak yang Allah berikan keutamaan padanya atas hamba-Nya adalah hak khusus untuk hamba itu sendiri, tidak ada hubungannya dengan orang lain. Maka apabila orang lain yang tidak berhak lalu bertawassul pada yang berhak, maka berarti bertawassul dengan perkara yang tidak ada hubungan padanya dan ini tidak memberi manfaat sedikit pun. والله اعلم بالصوب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar