Kamis, 29 Oktober 2009

Puisi Fisika-Kimia

Puisi Fisika-Kimia

Bilangan avogadro mati
Koefisien dari segala reaksi nol, tidak tersisa
Dua linear ganjil tiba-tiba
Dan angka-angka pun tercengang kosong

Konfigurasi atas semua elektron tidak terarah
Atom Rutherford terpecah gaduh
Dalam kegaduhannya, negasi menjadi gempar
Bila gugus-gugus tersebut tidak lagi dalam satu ruang

Satu atom tak elakkan tuk lepaskan hidrokarbonnya
Karena mungkin alkuna akan mengganjil begitu saja
Tidak lagi sebuah ikatan rangkap tiga
Antar atom karbonnya

Teremosi atas segala transisi
Namun tidak mungkin tereaksi kembali
Jiwa ini berteriak dalam keangkuhan waktu
Yang telah satukan nol, dengan jiwa ini
Puisi Cinta Fisikawan (Versi Gamma)

Cintaku Padamu, oh Fisika

Sendiriku tak sentuh pagi
Bayangmu bagai spektrum pelangi
Rindu ini enyahkan sengat mentari
Melayang jiwaku kalahkan gravitasi

Harapku ini t’lah semu
Apakah hatimu tak kenal diriku?
Meski cintaku tak habis untukmu
Abadi setiaku walau blackhole mengganggu

Cinta ini bagai atom Dalton
Selalu kekal layaknya bilangan baryon
Dengan interaksi kuat adanya pion
Takkan terbagi dalam nukleon

Tak seperti perang nuklir
Walau cinta ini harus berakhir
Saat partikel Higgs terlahir
Ataukah ini titik nadir?

Telah kuarungi gap energi
Untuk meraih cinta ini
Agar puing kasih terangkai kembali
Meski berada di lain galaksi

Saat waktu hilangkan rasa
Kujaga dirimu dalam setia
Karenamu cinta ini tak terhingga
Seperti luas alam semesta


Surat Cinta Fisikawan

Archimedes dan Newton tak akan mengerti Medan
magnet yang berinduksi di antara kita. Einstein dan
Edison tak sanggup merumuskan E=mc2 Ah tak
sebanding dengan momen cintaku.

Pertama kali bayangmu jatuh tepat di fokus hatiku
Nyata, tegak, diperbesar dengan kekuatan lensa
maksimum Bagai tetes minyak milikan jatuh di
ruang hampa. Cintaku lebih besar dari bilangan
avogadro.

Walau jarak kita bagai matahari dan Pluto saat
aphelium. Amplitudo gelombang hatimu
berinterfensi dengan hatiku Seindah gerak
harmonik sempurna tanpa gaya pemulih. Bagai
kopel gaya dengan kecepatan angular yang tak
terbatas.

Energi mekanik cintaku tak terbendung oleh friksi.
Energi potensial cintaku tak terpengaruh oleh
tetapan gaya. Energi kinetik cintaku =
mv2.
Bahkan hukum kekekalan energi tak dapat
menandingi hukum kekekalan di antara kita.

Lihat hukum cinta kita. Momen cintaku tegak lurus
dengan momen cintamu. Menjadikan cinta kita
sebagai titik ekuilibrium yang sempurna dengan
inersia tak terhingga. Takkan tergoyahkan impuls
atau momentum gaya.

Inilah resultan momentum cinta kita.


Puisi Cinta Fisikawan (Versi Beta)

Cintaku Padamu, oh Fisika

Malam gelap temani sepi
Secercah foton enggan menghampiri
Gelombang nada tiada menemani
Saat intuisi hanyalah ekspektasi

Saat kurasakan getaran cinta
Dengan kecepatan melebihi cahaya
Potensial tangga tak berdaya meluruhkannya
Mungkin ini hanya imajinasi hampa

Dunia kita ialah relativistik
Tampuk tahta bukan mekanika klasik
Tapi cintaku ini tetap deterministik
Dengan kesucian tanpa hukum probabilistik

Walau cinta ini tak bersambut
Walau luka ini sisakan takut
Namun nuraniku senantiasa terpaut
Layaknya katrol pesawat Atwood

Cinta ini takkan pernah bertepi
Seperti osilator harmonik tanpa terhenti
Semua rapi tersusun dalam hati
Bagai kristal tak cacat kisi

Akankah cinta ini kembali?
Menatap bayang indah rajutan mimpi
Ataukah khayal tetap berdiri?
Merusak angan dengan radiasi tinggi


Kaitan Puisi dan Fisika

Puisi Bertumpu pada Kata, Fisika Bersandar pada Aksara

Meminjam Shakespeare, apalah arti y = x + 1! Bagi banyak orang, persamaan itu tak lebih pernyataan abstrak belaka. Ia tak bermakna apa pun, berada pada jarak yang jauh dari realitas. Simbol-simbol abstrak itu tak mewakili sesuatu yang benar-benar eksis. Maka, semula, membayangkan E = mc2 atau E = hf (yang digubah oleh Max Planck, lebih dahulu daripada Albert Einstein) akan mengubah pandangan-dunia tentang materi adalah kemustahilan belaka.

Tapi, tidak demikian bagi sejumlah fisikawan yang berhasil menanamkan namanya ke dalam persamaan-persamaan itu: Planck, Einstein, maupun Dirac--untuk menyebut beberapa dari yang sedikit (dari ratusan ribu ilmuwan riset yang pernah hidup, sangat sedikit persamaan penting yang terkait dengan nama mereka). Bagi mereka, persamaan fundamental adalah ekspresi keseimbangan yang sempurna. Bom yang jatuh di Nagasaki dan Hiroshima merupakan ekspresi nyata dari keseimbangan materi dan energi dalam E = mc2.

Seperti kebanyakan persamaan-besar lainnya, rumusan yang diusulkan Einstein pada 1905 itu menyatakan kesetaraan yang secara superfisial amat berbeda: energi, massa, dan kecepatan cahaya di dalam vakum. Lewat persamaan inilah Einstein meramalkan bahwa untuk setiap massa (m), jika Anda mengalikannya dengan kuadrad dari kecepatan cahaya di dalam vakum (c), hasilnya adalah persis sama dengan energi yang bersangkutan (E). Layaknya setiap persamaan-besar lain, E = mc2 menyeimbangkan dua kuantitas.

Persamaan yang menghebohkan ini mengundangkan spekulasi saat pertama kali dipublikasi. Baru beberapa dekade kemudian persamaan ini menjadi bagian dari sel-sel darah pengetahuan ilmiah, setelah ilmuwan-eksperimental menunjukkan bahwa begitulah yang terjadi dengan alam semesta kita. Bahkan dunia benar-benar terkejut tatkala formula yang sederhana itu ternyata mampu menghentikan Perang Dunia II saat diwujudkan menjadi bom-bom atom yang meledakkan kedua kota penting di Jepang itu.

E = mc2, dalam banyak hal, serupa puisi besar. Ia tak ubahnya soneta sempurna yang akan berantakan manakal satu not-nya diubah. Tidak satu pun detail dari persamaan-besar seperti E = mc2, atau pun E = hf, yang dapat diubah tanpa merontokkan arti persamaan itu. Persamaan-besar juga berbagi dengan puisi-indah suatu kekuatan luar biasa--puisi adalah bentuk bahasa paling dan berbobot, sebagaimana persamaan ilmiah adalah bentuk pemahaman paling ringkas terhadap realitas fisik yang digambarkannya. E = mc2 sangatlah digdaya: simbol-simbolnya memadatkan-ke-dalam-kapsul-pengetahuan yang dapat diterapkan untuk setiap konversi energi, dari setiap sel dari setiap benda hidup di muka bumi hingga ledakan kosmis pada jarak yang amat jauh.

Terhadap imajinasi, persamaan-besar adalah stimulus yang sama kaya dan menggairahkannya dengan puisi. Sebagaimana Shakespeare membangkitkan berbagai ilham lewat puisi-puisi dalam dramanya, Einstein merangsang imajinasi fisikawan dalam meramalkan konsekuensi-konsekuensinya. Meski, tak berarti keserupaan itu bermakna kesamaan. Setiap puisi ditulis dalam bahasa partikular dan kerap kehilangan daya magisnya begitu diterjemahkan, persamaan-besar tidak. Sebab, ia diekspresikan dalam bahasa universal. E = mc2 dalam bahasa Inggris sama saja dengan E = mc2 dalam bahasa Jawa.

Puisi mencari berbagai makna dan membuka interaksi antara kata-kata dan pikiran-pikiran, sementara ilmuwan meniatkan persamaan mereka untuk menyatakan makna logis yang tunggal. Bila puisi bertumpu pada kata, fisika bersandar pada aksara dan angka. Keduanya memang bercerita tentang dunia dengan caranya sendiri.

Para pemikir takluk di hadapan teka-teki tentang mengapa begitu banyak hukum alam dapat ditulis secara meyakinkan dalam bentuk persamaan matematis. Mengapa begitu banyak hukum alam yang dapat diekspresikan sebagai imperatif absolut, bahwa dua kuantitas yang tampaknya tidak berhubungan (sisi-sisi kiri dan kanan persamaan) adalah sama secara eksak? Salah satu penjelasannya, yang mungkin terdengar bercanda, ialah bahwa Tuhan itu matematikawan.


Sumber : Koran Tempo (17 Maret 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar