Kamis, 29 Oktober 2009

Ilmu Tafsir

ILMU TAFSIR

A. Pengertian

Tafsir menurut terminologi bahasa diambil dari kata fasara – fasran – al-fasru yang berarti membuka sesuatu yang tertutup. Sedangkan menurut istilah adalah penjelasan tentang makna kandungan Al-Quran.

B. Hukum mempelajari ilmu tafsir

Hukum mempelajari ilmu tafsir adalah wajib, Allah berfirman :

Artinya : ’’Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.’’ (QS. Shaad : 29)

Allah berfirman :

Artinya : ’’Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?’’ (QS. Muhammad : 24)

Petunjuk dari ayat pertama ; bahwasanya Allah menjelaskan, bahwa hikmah dari penurunan Al-Quran yang penuh berkah ini adalah agar manusia memperhatikan dan mengambil pelajaran dari ayat-ayatnya.

Memperhatikan maksudnya adalah mempelajari dengan seksama lafal-lafalnya hingga memahami makna-maknanya, sebab kalau tidak demikian maka hikmah dari turunnya Al-Quran akan hilang dan hanya menjadi lafal-lafal yang tidak terpengaruh sama sekali. Karena tidak mungkin bisa mengambil pelajaran dari Al-Quran kalau tidak memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Petunjuk dari ayat kedua ; bahwasanya Allah mengkritisi orang-orang yang tidak memperhatikan Al-Quran. Hal itu disebutkan dengan terkuncinya hati mereka dan tidak sampai kebaikan pada hati mereka.

Kaum salaf berjalan di atas metode wajib ini, mereka mempelajari Al-Quran baik lafal maupun maknanya, karena hanya dengan itu mereka mampu beramal dengan Al-Quran sesuai dengan maksud Allah , karena melakukan amal perbuatan dengan sesuatu yang tidak dipahami maknanya adalah tidak mungkin.

Abu Abdurrahman As-Sulami pernah mengatakan : ’’Telah bercerita kepada kami orang-orang yang dahulu membacakan Al-Quran kepada kami seperti ‘Utsman Ibn ‘Affan, Abdullah Ibn Mas’ud dan para Sahabat lainya, bahwasanya mereka selalu mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah , mereka tidak melewatinya hingga mereka pelajari kandungan sepuluh ayat tersebut dari sisi keilmuan dan amal, mereka katakan : ’’Kami mempelajari Al-Quran, ilmu dan amal sekaligus.’’

Para ulama wajib untuk menjelaskan kepada manusia secara keseluruhan baik melalui lisan ataupun tulisan, karena sesuai dengan firman Allah :

Artinya : ’’Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) : Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya.’’ (QS. Ali-Imran : 187)

Menjelaskan isi kitab mencangkup penjelasan tentang lafal-lafal dan makna-maknanya, sehingga dengan demikian tafsir (menerangkan) Al-Quran termasuk dalam kategori pengambilan janji Allah kepada ulama untuk menerangkannya.

C. Tujuan mempelajari ilmu tafsir

Tujuan dari mempelajari ilmu tafsir diharapkan agar seseorang dapat memahami tujuan yang mulia dan hasil yang agung, yaitu membenarkan berita-beritanya dan mengambil manfaat darinya seta mengaplikasikan hukum-hukumnya sesuai dengan maksud Allah .

D. Kewajiban seorang muslim terhadap ilmu tafsir Al-Quran

Perasaan seorang muslim ketika menafsirkan Al-Quran haruslah merasakan bahwa dirinya sedang menjadi penterjemah Allah yang sedang menyaksikannya. Dia haruslah menerangkan sesuai dengan maksud Allah dari firman-firman-Nya, maka dia mengagungkan persaksian ini dan takut kalau mengatakan sesuatu atas Allah dengan tanpa ilmu sehingga dia nantinya akan terjatuh pada hal-hal yang diharamkan Allah dan mendapat celaka dihari kiamat.

Allah berfirman :

Artinya : ’’Katakanlah : Rabbku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.’’ (QS. Al-A’raaf : 33)

Allah berfirman :

Artinya : ’’Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang orang yang berbuat dusta kepada Allah , mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?’’ (QS. Az-Zumar : 60)

E. Reperensi dalam ilmu tafsir Al-Quran

Sumber rujukan dalam ilmu tafsir Al-Quran adalah sebagai berikut :

a. Al-Quran

Yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran karena Allah yang menurunkannya, maka Dia-lah yang lebih mengetahui akan maksud yang dikandungnya.

Contoh,

Firman Allah :

Artinya : ’’Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’’ (QS. Yunus : 62)

Wali-wali Allah dalam ayat ini ditafsirkan oleh ayat yang setelahnya, Allah berfirman :

Artinya : ’’(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.’’ (QS, Yunus : 63)

b. Hadits Rasulullah

Yaitu menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah, karena Rasulullah adalah pembawa berita dari Allah sehingga beliau adalah orang yang paling tahu tentang keinginan Allah dalam firman-firman-Nya.

Contoh,

Firman Allah :

Artinya : ’’Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.’’ (QS. Yunus :26)

Rasulullah menafsirkan -tambahan- pada ayat itu dengan : melihat wajah Allah , sesuai dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim secara jelas dari hadits Abu musa (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, jilid 6, halaman 1945, hadits no 1034, dan Al-Laalika-I dalam kitab Syarah Ushul Al-I’tiqaad, jilid 2, juz 3, halaman 458 – 459, hadits no 785) dan Ubay Ibn Ka’ab (diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya, jilid 15, halaman 69, hadits no 17633, dan Al-Laalika-I dalam kitab Syarah Ushul Al-I’tiqaad, jilid 2, juz 3, halaman 456) dan diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari hadits Ka’ab Ibn ‘Ajrah (diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya, jilid 15, halaman 68, hadits no 17631, dan Al-Laalika-I dalam kitab Syarah Ushul Al-I’tiqaad, jilid 2, juz 3, halaman 456-457). Disebutkan dalam kitab Shahih Muslim (diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya, halaman 709, kitab Al-Iman, bab 80 tentang Ru-yatil Mukmimin Fil Aakhirat Rabbahum Subhanahu Wa Ta’ala, hadits no 449 [297] 181, 450 [298] 181) dari Shuhaib Ibn Sinan dari Rasulullah , dalam hadits tersebut beliau bersabda : ’’Maka tabirpun disingkap, sehingga tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih mereka cintai daripada melihat kepada Rabb mereka, kemudian Rasulullah membaca ayat ini,

Artinya : ’’Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.’’ (QS. Yunus : 26)

c. Para Sahabat radhiyallahu ‘anhum

Lebih khusus lagi para ulama tafsir dikalangan mereka, karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka dan pada jaman mereka. Sahabat adalah yang paling benar perkataannya setelah para Nabi dan paling ulet dalam mencari kebenaran serta paling selamat dari hawa nafsu dan paling suci dari kesalahan yang sedianya menjadi aral merintang antara seseorang dengan taufiq untuk mendapatkan kebenaran.

Contoh,

Firman Allah :

Artinya : ’’Hai orang-orang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadan junub, terkecuali sekedar berhalu saja hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.’’ (QS. An-Nisaa’ : 43)

Riwayat yang shahih dari Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa penafsiran dari –menyentuh perempuan- adalah hubungan biologis (diriwayatkan Abdurrazaq dalam kitab Al-Mushannaf, jilid 1, halaman 134, dan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, jilid 1, halaman 192).

d. Para Tabi’in

Terutama mereka yang mempelajari secara langsung ilmu tafsir dari para Sahabat. Karena para Tabi’in adalah sebaik-baik manusia setelah para Sahabat dan lebih selamat dari hawa nafsu daripada orang-orang setelah mereka. Kemudan di samping itu bahasa arab belum banyak mengalami perubahan di jaman mereka sehingga mereka lebih dekat kepada kebenaran jika dibandingkan dengan orang-orang setelah mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (dalam kitabnya Majmu’ Fataawa) mengatakan : ’’Jika mereka –para Tabi’in- bersepakat tentang sesuatu, maka tidaklah diragukan, bahwa kesepakatan mereka itu adalah hujjah dan kalau mereka berbeda pendapat, maka pendapat sebagian mereka tidak manjadi hujjah atas sebagian yang lain, juga tidak atas orang-orang yang datang kemudian. Yang dijadikan rujukan dalam hal ini adalah bahasa Al-Quran atau As-Sunnah atau keumuman bahasa arab atau perkataan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum.’’

Ibnu Taimiyah juga mengatakan : ’’Barangsiapa yang berpaling dari metodolodi para Sahabat dan Tabi’in serta penafsiran mereka terhadap sesuatu yang menyalahi hal itu, maka dia telah berdosa, bahkan telah mengada-ada dalam Islam, dan kalau dia melakukannya sebagai ijtihad, maka akan terampuni dosanya’’. Kemudian beliau melanjutkan : ’’Barang siapa yang menyalahi perkataan mereka dalam menafsirkan Al-Quran dengan penafsiran yang berbeda dengan penafsiran mereka, maka dia telah salah dalam pengambilan dalil dan petunjuk dalil tersebut secara sekaligus.’’

e. Makna yang ditunjukkan oleh setiap kata baik makna syar’i maupun makna bahasa disesuaikan dengan konteksnya masing-masing

Allah berfirman :

Artinya : ’’Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.’’ (QS. An-Nisaa’ : 105)

Allah berfirman :

Artinya : ’’Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. Dan Dia-lah Rabb Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.’’ (QS. Ibrahim : 4)

Jika terjadi perbedaan antara makna syar’i dengan makna bahasa, maka yang diambil adalah makna syar’i, karena Al-Quran diturunkan untuk menjelaskan syariat dan bukan untuk menjelaskan masalah bahasa kecuali jika terdapat dalil yang menguatkan makna bahasa, maka itulah yang diambil.

Contoh dari perbedaan kedua makna tersebut dan di dahulukan yang makna syar’i : Firman Allah tentang orang munafik.

Artinya : ’’Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.’’ (QS. At-Taubah : 84)

-shalat- dalam ayat di atas menurut arti bahasanya adalah –do’a-, sedangkan menurut arti syar’inya adalah berdiri shalat di hadapan jenazah untuk mendo’akannya dengan tata cara yang di ajarkan Rasulullah , maka di sini yang didahulukan adalah makna syar’i karena makna itulah yang dimaksudkan dalam dialog dengan kaum muslimin sebagai objek yang di ajak berdialog. Sedangkan larangan untuk mendo’akan mereka secara mutlak terdapat dalam dalil yang lain.

Contoh dari perbedaan kedua makna dan di dahulukan makna bahasa dengan dalil firman Allah :

Artinya : ’’Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’’ (QS. At-Taubah : 103)

Yang dimaksud dengan -shalat- dalam ayat ini adalah -do’a-. dalilnya adalah hadits riwayat Imam Muslim (diriwayatkan Imam Bukhari, halaman 342, kitab Al-Maghazi, bab 36 tentang Ghazwatul Hudaibiyyah, hadits no 4166, dan Imam Muslim, halaman 849, kitab Az-Zakat, bab Ad-Du’aa Liman Ataa Bishadaqatin, hadits no 2492 [176] 1078) dari Abdullah Ibn Abi Aufa : Bahwasanya Rasulullah jika didatangkan kepada beliau zakat suatu kaum, kemudian beliau mendo’akan mereka. Ayahku mendatangi Rasulullah dengan membawa zakatnya, maka beliau mengucapkan : ’’Allahumma Shalli ‘Alaa Ali Abii Aufa (Ya Allah curahkanlah kesejahteraan kepada keluarga Abu Aufa).’’

F. Bentuk-bentuk perbedaan yang terdapat dalam tafsir ma’tsur

Bentuk-bentuk perbedaan dalam tafsir ma’tsur ada tiga macam :

Pertama : Perbedaan pada lafal tapi maknanya sama, hal ini tidak berpengaruh sama sekali pada makna ayat, contohnya firman Allah :

Artinya : ’’Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan –ah- dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.’’ (QS. Al-Israa’ : 23)

Ibnu ‘Abbas mengatakan : ’’Qadhaa artinya memerintahkan.’’

Mujahid mengatakan : ’’artinya mewasiatkan.’’

Ar-Rabbi mengatakan : ’’artinya mewajibkan.’’

Penafsiran-penafsiran ini artinya sama atau sangat dekat sekali sehingga perbedaannya tidak berpengaruh pada makana ayat.

Kedua : Perbedaan pada lafal dan makna, sementara ayat yang ditafsirkan memiliki dua makna atau lebih dan tidak saling berlawanan antara yang satu dengan yang lain, maka dalam keadaan demikian ayat tersebut ditafsirkan dengan makna-makna itu dan digabungkan sebagai penjelasan sebagian sisi yang dimaksudkan oleh ayat yang bersangkutan atau penjabaran.

Ketiga : Perbedaan pada lafal dan makna, sementara ayatnya tidak mengandung dua makna atau lebih secara bersama-sama karena bersifat kontradiktif, sehingga ayat tersebut hanya diartikan dengan makna yang paling kuat diantara penafsiran-penafsiran yang ada dengan dalil konteks kalimat dan lain sebagainya.

G. Terjemah Al-Quran

Terjemah menurut bahasa memiliki banyak arti yang kembali kepada makna menerangkan dan menjelaskan. Sedangkan menurut istilah berarti mengungkapkan suatu bahasa dengan bahasa yang lain.

Terjemah Al-Quran artinya mengungkapkan makna Al-Quran dengan bahasa lain selain bahasa arab.

Terjemah ada dua macam :

Pertama : Terjemah harfiyah, yaitu menerjemahkan arti dari setiap kata.

Kedua : Terjemah maknawiyah atau tafsiriyah (terjemah bebas), yaitu mengungkapkan makna Al-Quran dengan bahasa lain tanpa memandang kepada kosakata dan urut-urutannya.

Contohnya firman Allah :

Artinya : ’’Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa arab supaya kemu memahami (nya).’’ (QS. Az-Zukhruf : 3)

Terjemah harfiyah : yaitu menerjemahkan ayat ini perkata, menerjemahkan (sesungguhnya) kemudian (kami menjadikan) kemudian (bahasa arab) dan demikian seterusnya.

Terjemah maknawiyah : yaitu menerjemahkan makna ayat secara keseluruhan tanpa melihat kepada arti dari setiap kata dan urut-urutannya, terjemah ini hampir sama dengan tafsir global.

H. Hukum menerjemahkan Al-Quran

Terjemah harfiyah untuk Al-Quran tidak mungkin untuk dilakukan menurut sebagian besar ulama, karena terdapat syarat-syarat pada terjemahan macam ini yang tidak mungkin bisa dilakukan, yaitu :

a. Harus ada kosakata bahasa terjemahan yang sesuai dengan kosakata pada bahasa yang diterjemahkan.

b. Harus ada imbuhan pada makna kata dalam bahasa terjemahan yang sama atau serupa dengan imbuhan pada bahasa yang diterjemahkan.

c. Kesamaan kedua bahasa dalam urut-urutan kata dalam konteksnya pada kalimat, Na’at (sifat), Idhafah (penyandaran), dan lain sebagainya.

Sebagian ulama mengatakan : ’’Sesungguhnya terjemah harfiyah bisa dilakukan pada sebagian ayat atau yang semisalnya, akan tetapi walaupun itu bisa dilakukan tetap saja hukumnya haram karena tidak mungkin untuk menyampaikan makna yang dimaksud dengan sempurna dan tidak akan memberikan pengaruh pada hati sebagaimana pengaruh yang diberikan Al-Quran berbahasa arab, juga tidak ada kebutuhan mendesak yang menuntut hal itu karena sudah ada terjemahan maknawiyah (dengan makna).’’

Oleh karena itu, terjemahan harfiyah walaupun mungkin untuk dilakukan pada sebagian kata, namun hukumnya tetap terlarang, kecuali kalau untuk menerjemahkan satu kata dengan bahasa orang yang diajak berbicara agar dia memahaminya tanpa menterjemahkan konteks kalimat secara keseluruhan.

Sedangkan terjemah Al-Quran secara maknawiyah pada dasarnya boleh dilakukan karena memang tidak ada larangan di sana, bahkan terkadang menjadi wajib ketika hal itu menjadi sarana untuk menyampaikan Al-Quran dan Islam kepada orang yang tidak berbahasa arab, karena menyampaikan Al-Quran dan Islam hukumnya wajib. Disamping itu kaidah fiqh mengatakan : ’’Jika kewajiban tidak bisa dilakukan dengan sempurna kecuali dengan melakukan sesuatu, maka melakukan sesuatu tersebut hukumnya ikut menjadi wajib.’’

Akan tetapi ada syarat-syarat yang harus di penuhi :

Pertma : Tidak dijadikan sebagai pengganti Al-Quran sehingga merasa cukup hanya dengan terjemahnya saja, oleh karena itu ayat-ayat Al-Quran dalam bahasa arab harus tetap ditulis kemudian disampingnya baru dituliskan terjemahnya sehingga menjadi semacam penafsiran bagi Al-Quran.

Kedua : Penerjemah harus mengerti dan memahami apa yang ditunjukkan oleh lafal-lafal dan konteks kalimat pada kedua bahasa terjemahan dan yang diterjemahkan

Ketiga : Penerjemah harus mengetahui makna dari lafal-lafal syar’i dalam Al-Quran.

Terjemah Al-Quran tidak bisa diterima kecuali dari orang yang terpercaya, yaitu seorang muslim yang lurus aqidahnya, murni keimanannya, dan benar manhajnya.

I. Ahli tafsir dari kalangan Sahabat

Beberapa orang dari kalangan Sahabat yang terkenal dengan ilmu tafsir. Imam As-Suyuti menyebutkan diantaranya adalah Khulafaurrasyidin ; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhum. Hanya saja riwayat dari tiga orang pertama tidak banyak karena kesibukan meeka mengurus pemerintahan dan kurangnya kebutuhan penukilan ilmu tafsir, hal itu juga dilatari oleh banyaknya dari kalangan Sahabat lain yang mengerti disiplin ilmu tersebut.

Diantara mereka yang terkenal sebagai mufasir di kalangan para Sahabat adalah :

a. Ali Ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu

b. Abdullah Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu

c. Abdullah Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma

J. Ahli tafsir dari kalangan tabi’in

Banyak sekali di kalangan para Tabi’in yang dikenal sebagai ahli tafsir, di antaranya adalah :

a. Penduduk Makkah, yaitu pengikut Ibnu ‘Abbas seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan ‘Atha’ Ibn Abi Rabbah.

b. Penduduk Madinah, yaitu pengikut Ubay Ibn Ka’ab seperti Zaid Ibn Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad Ibn Ka’ab Al-Qurazhi.

c. Penduduk Kufah, yaitu pengikut Ibnu Mas’ud seperti Qatadah, ‘Alqamah dan Asy-Sya’bi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar